Rabu, 22 Februari 2012

PERKEMBANGAN SUPERVISI PENDIDIKAN


BAB I

A.    Pendahuluan
Semua negara dalam meningkatkan mutu sumber daya manusia berusaha keras agar dapat menerapkan standar dalam menyelenggarakan pendidikannya. Tiap negara berlomba menetapkan kriteria minimal pada berbagai komponen strategis agar memenuhi standar mutu minimal sebagai modal dasar untuk mengembangkan persaingan. Keberhasilannya diukur dengan indikator-indikator yang paling strategis sehingga menggambarkan hasil nyata sebagai komponen utama penentu daya saing. Upaya meningkatkan mutu itu tidaklah mudah, demikian pakar mutu menyatakan kesungguhannya. Meningkatkan mutu perlu rumusan pikiran tentang apa yang hendak ditingkatkan, memilih bagian yang paling dibutuhkan pelanggan, dan menghasilkan produk kegiatan yang paling unggul di antara produk sejenis.

Oleh karena itu, peningkatan mutu memerlukan ide baru yang datang dari pikiran cerdas, selalu mengandung bagian yang berbeda dari yang ada sebelumnya, menghasilkan bagian yang lebih sempurna, lebih bermanfaat, lebih mempermudah sehingga lebih diminati. Mutu memerlukan waktu, proses dan ketelatenan untuk mewujudkan ide-ide baru dengan baik sejak awal.

Tiap langkah dalam mewujudkan mutu memerlukan disiplin untuk selalu memenuhi seluruh persyaratan pekerjaan agar hasil yang diharapkan terwujud. Dalam sebuah lembaga mutu yang baik lahir dari disiplin bersama, tanggung jawab bersama, dan komitmen bersama.

Apakah Supervisi?

Supervisi yang merupakan salah satu strategi untuk memastikan bahwa seluruh langkah pada proses penyelenggaraan dan semua komponen hasil yang dicapai memenuhi target.

Supervisi adalah strategi manajemen yang terdiri atas serangkaian kegiatan untuk memastikan bahwa mutu yang diharapkan dalam proses perencanaan, pelaksanaan kegiatan, dan evaluasi memenuhi standar yang telah ditentukan.

Praktek supervisi selalu berubah seiring dengan tumbuhnya kesadaran para pemangku kepentingan untuk meningkatkan penjaminan mutu. Kesadaran akan pentingnya meningkatkan mutu terkait pada peran, fungsi, dan pembagian tugas dalam organisasi. Pelaksanaannya selalu terkait pada konsistensi lembaga, kegiatan akademik, profesionalisme, dan kesungguhan penyelenggara pendidikan akan pentingnya memastikan bahwa mutu yang diharapkan dapat terus terjaga sejak langkah perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauannya.

B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimana perkembangan supervisi pendidikan ?

2.      Bagaimana kendala serta solusinya ?

C.    Tujuan Supervisi

Supervisi pendidikan bertujuan menghimpun informasi atau kondisi nyata pelaksanaan tugas pendidik dan tenaga kependidikan sesuai dengan tugas pokoknya sebagai dasar untuk melakukan pembinaan dan tindak lanjut perbaikan kinerja belajar siswa. Tujuan lanjut adalah bermanfaatnya hasil akreditasi untuk melakukan perbaikan mutu.

Target puncak supervisi adalah berkembangnya proses perbaikan mutu secara berkelanjutan. Meningkatnya kebiasaan melaksanakan tugas sejak awal dengan mutu yang terukur, membiasakan tiap tahap pekerjaan jelas pula mutunya. Meningkatnya kejelasan pengaruh pelaksanaan tugas profesi terhadap hasil belajar siswa. Pada akhirnya supervisi menumbuhkan budaya mutu karena mutu itu adalah budaya yang selalu menjujung terget yang tinggi pada tiap langkah kegiatan.

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Perkembangan Supervisi

Supervisi pada awalnya merupakan bagian dari aktivitas manajemen pemerikasaan atau inspeksi oleh pihak eksternal. Kepala sekolah harus menunjukkan bukti kinerja pelaksanaan tugasnya. Pendidik harus menunjukkan bagaimana membelajarkan siswa, menerapkan kurikulum, dan menyerap pelajaran. Pada decade ini tema memeriksa tertanam kuat dalam praktek supervisi.

Pada dekade awal abad kedua puluh, seiring dengan gerakan dalam bidang industri yang menerapkan model manajemen, supervisi semakin berrkembang dengan semakin berpusat pada siswa. Hal ini dipengaruhi oleh berkembangnya teori-teori kurikulum yang berkembang di Eropa seperti Friedrich Froebel, Johan Pestalozzi, Johan Herbart, serta filsuf Amerika terkemuka John Dewey. Pekembangan ini jelas sangat berpengaruh terhadap perkembangan sekolah.

Perkembangan lebih jauh dengan berkembangnya berbagai penelitian dalam bidang pendidikan, pengawasan sering terjebak pada kegiatan mengevaluasi guru secara ilmiah yang simultan dengan mengembangkan model pembelajaran yang mekanistis , mengulang, dan meningkatkan partisipasi untuk lebih meningkatkan ragam tanggapan siswa yang tumbuh dari rasa ingin tahu. Perkembangan ini telah menyebabkan meningkatnya standar persyaratan sistem pembelajaran. Pendekatan supervisi yang ilmiah telah memunculkan ketegangan psikologis guru yang cendrung lebih memperhatikan aspek pragmatis.

Paradigma mekanistik dibangun berdasarkan paradigma lingkungan yang berfokus pada empat komponen dasar, yaitu hubungan antara sistem alam dan sosial, mengintegrasikan nilai kemanusian dengan alam, menggunakan teknologi dalam mengembangkan alternatif, dan mengembangkan kegiatan pembelajaran dalam siklus kehidupan manusia. (Disinger, John F. – Roth, Charles E, 1992)

Sampai kini ketegangan antara pengawas dengan pendidik akibat dari pengawasan yang menggunakan pendekatan ilmiah tidak pernah pudar. Oleh karena itu berkembanglah pemikiran lanjut untuk mengembangkan supervisi dengan pendekatan yang lebih fleksibel, dialogis, kolaboratif, melibatkan hati secara alamiah, dan lebih komunikatif. Supervisi menjadi bagian dari usaha meningkatkan mutu penerapan kewenangan profesional.

Perkembangan selanjutnya adalah berkembangnya konsep supervisi klinis. Awalnya konsep itu dikembangkan oleh profesor Harvard Morris Cogan dan Robert Anderson serta mahasiswa pascasarjana mereka. Supervisi dan supervisi klinis mengintegrasikan unsur objektif dan ilmiah melalui pengamatan kelas yang bersifat kolegial, menekankan pada aspek pembinaan, serta didasari dengan perencanaan rasional, pelaksanaan yang fleksibel dengan pendekatan utama membantu memecahkan masalah yang terdapat pada pembelajaran siswa.

Tahun 1969 Robert Goldhammer mengusulkan pelaksanaan supervisi klinis dalam lima tahap, yaitu: (1) Pertemuan pra-observasi antara pendidik dan pengawas untuk menyepakati komponen-komponen kegiatan yang akan menjadi materi analisis; (2) observasi kelas; (3) catatan analisis supervisor untuk bahan kajian dari hasil observasi; (4) pertemuan pendidik dengan supervisor pasca observasi; dan (5) pertemuan para pengawas untuk membahas hasil pertemuan akhir dengan para pendidik.

Di samping itu, Cogan menegaskan bahwa pelaksanaan supervisi hendaknya berlangsung dalam hubungan kolegial, terfokus pada kepentingan guru dalam meningkatkan standar pembelajaran siswa, dan dengan sistem pengamatan yang tidak menghakimi.

Pada era tahun 1970-1980-an, sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, kurikulum berubah pandang dengan lebih menekankan pada struktur disiplin akademik. Tak lama setelah itu, perspektif baru yang berhasil dirumuskan dari produk penelitian dalam konteks pengembangan sekolah efektif dan kelas efektif, dan belajar efektif. Pada periode ini ini tercatat nama Madeline Hunter yang berhasil mengadaptasi hasil penelitiannya pada bidang psikologi belajar dengan memperkenalkan, quasi-ilmiah atau dikenal juga dengna istilah analisis konsteks. Quasi-eksperimen selanjutnya menjadi sangat populer dan berkembang menjadi metode penelitian dalam ilmu sosial.

Para akademisi selanjutnya mengikuti siklus sebagaimana Cogan dan Goldhamer rumuskan yaitu proses supervisi dilakukan secara dialogis dan replektif. Pendekatan supervisi ini kemudian banyak diterapkan. Lebih jauh pendekatan ini telah menjadi pemicu muncul model supervisi teman sejawat dengan difasilitasi hubungan kolegial antar guru dengan melakukan penelitian tindakan kelas (PTK).

Meskipun supervisi klinis menjadi salah satu cara yang sangat efektif dalam membantu memecahkan masalah yang guru dalam memperbaiki pekerjaannya, namun mengingat jumlah guru yang semakin banyak maka pelaksanaannya memerlukan waktu, tenaga, dan biaya yang besar sehingga hal ini menjadi mustahil diperlakukan kepada semua guru.

Sejalan dengan berkembangnya kebutuhan untuk meningkatkan mutu pendidikan melalui peningkatan mutu siswa belajar dan peningkatan mutu guru.,Thomas Sergiovanni dan Robert Starratt (1998) mengembangkan sistem supervisi multi proses. Konsep ini menekankan akan pentingnya mengingkatkan mutu pengawas supaya dapat mendorong pertumbuhan mutu guru. Pelaksanaan supervisi dilakukan multi tahun serta multi proses. Sistem supervisi memperlakukan pendidik dan tenaga pendidik menigkatkan mutu profesinya dalam satu siklus yang terdiri atas bergai komponen kegiatan. Siklus dapat dikembangkan dalam 3 sampai 5 tahun, tergantung pada kebutuhan. Pendidik dan tenaga kependidikan mendapat perlakuan satu model atau banyak perlakuan formal, seperti evaluasi diri, supervisi teman sejawat, pengembangan kurikulum, penelitian tindakan kelas, lesson study (peningkatan mutu profesi melalui perbaikan mutu pelaksanaan tugas secara ilmiah), penelitian tindakan penerapan strategi pembelajaran baru, pemagangan, dan menggabung dalam proyek pembaharuan sekolah.

Sergiovanni and Starratt juga menegaskan pentingnya setiap tindakan itu memberikan dampak pada meningkatnya kemampuan profesi pada indikator yang terukur. Juga dari sisi ruang lingkup kegiatan terluas adalah membuka peluang pendidik dan tenaga kependidikan untuk berpartisipasi secara sengaja pada agenda pembaruan seluruh sekolah. Hal itu dimaksudkan agar dapat merangsang pertumbuhan kompetensi profesional supervisi dalam konteks sistem sekolah yang lebih besar.

Belakangan para ahli juga menemukan model perbaikan pelaksanaan tugas yang berbasis kepakaran guru dalam kegiatan lesson study yang sudah lama berkembang dan efektif digunakan Jepang dalam memperbaiki tugas profesinya dalam kelas. Yang menarik dari strategi ini, fokus kajian tidak berkonsentrasi pada masalah yang guru hadapi dalam kelas, namun lebih fokus pada indentifikasi keunggulan guru dalam mempengaruhi siswa belajar dalam kelas. Peningkatan diarahkan pada menambah kekuatan itu sehingga menjadi lebih berarti.

B.     Kecenderungan dan Masalah Supervisi

Kecenderungan dapat dilihat dari perkembangan kegiatan supervisi di Indonesia selalu berkembang sejalan dengan berkembangnya konsep pada perkembangan global. Berbagai teori yang berkembang pada tataran internasional terus menjadi bahan kajian akademik di berbagai forum pengembangan mutu pendidikan di Indonesia. Masalahnya adalah dampak pada peningkatan mutu pembelajaran belum terukur hasilnya.

Supervisi belum menghasilkan data yang sebenarnya diperlukan untuk meningkatkan kinerja. Hingga kini sekolah belum dapat mengukur dan memilah berapa banyak pendidik yang bekerja di atas standar, pada taraf memenuhi standar. Jumlah guruyang under performance seringkali tidak diperoleh datanya dari supervisi, melainkan pada umumnya dari tingkat kehadiran dan keluhan siswa. Jadi, sampai saat ini pelaksanaan supervisi belum berfungsi sebagai instrumen peningkatan mutu yang optimal.

Pada era tahun 1960-an, kepala sekolah dan guru disupervisi dengan pendekatan isnspeksi. Pemeriksaan oleh pengawas menegangkan kepala sekolah dan pengawas. Kunjungan kelas pengawas merupakan kegiatan formal yang menakutkan. Pengawas, pada saat itu: penilik, masuk kelas memeriksa bagaimana guru mengajar, memeriksa sampai mana kurikulum diterapkan, dan menguji kompetensi siswa secara lisan. Hasil pemeriksaan merupakan nilai kinerja sekolah yang sangat bermakna terhadap masa depan karir mereka sehingga kepala sekolah maupun pendidik berkepentingan dengan hasil penilaian yang baik.

Kepala sekolah melakukan inspeksi terhadap guru sebagai wujud dari sistem supervise internal berlangsung setiap hari. Pendidik menyusun persiapan harian yang diperiksa dan ditandatangani oleh kepala sekolah. Tiap hari sebelum masuk kelas guru memeriksankan pesiapan mengajarnya dalam bentuk jurnal kegiatan harian sebelum masuk kelas.

Pada era tahun 1970-an-1980-an seiring dengan perkembangan konsep baru seperti yang dikembangkan Harvard Morris Cogan dan Robert Anderson, Robert Goldhammer yang menegaskan pentingnya supervise yang flesibel, kolegial, fokus pada standar mutu belajar siswa, sampai pada munculnya konsep pelaksanaan supervisi klinis pelaksanaan supervisi di Indonesia menganut model-model baru. Pada dekade ini inspeksi telah berubah menjadi supervisi yang lebih dialogis, kolaboratif, dan menekankan pada peningkatan kompetensi guru dalam melaksanakan pembelajaran dalam kelas.

Tugas utama supervisi berada di tangan kepala sekolah. Tugas ini dikuatkan dengan bertambahnya jumlah pengawas sekolah yang diangkat oleh pemerintah untuk membantu sekolah. Namun sayang sekali penugasan pengawas ke sekolah tidak pernah di dukung dengan biaya yang memadai sehingga sebagian beban itu dari waktu ke waktu menjadi tanggungan sekolah. Akibatnya wibawa pengawas di sekolah terganggu dengan dampak psikologis kontribusi finansial sekolah kepada pengawas. Akibatnya, fungsi supervisi tidak berfungsi optimal.

Pada era tahun1990-an model supervisi klinis mulai terasa pengaruhnya di Indonesia. Kepala sekolah mulai mendapat pelatihan untuk melakukan kegiatan supervisi model ini. Bahkan karena besarnya hambatan psikologi guru untuk membuka masalah yang dihadapinya, menimbulkan kehawatiran muculnya padangan negatif di lingkungan kerja sebagai guru yang tidak berkemampuan, sebenarnya supervisi klinis tidak pernah berkembang baik pada banyak sekolah di Indonesia.

Terbitnya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 telah mengubah kedudukan sekolah negeri yang disejajarkan dengan sekolah swasta. Oleh karena itu sekolah negeri juga harus diakreditasi sama dengan sekolah swasta. Kinerja sekolah yang dinilai dalam akreditasi adalah efektivitas kepala sekolah dalam melakukan akreditasi pendidik. Pada perkembangan terakhir kepala sekolah semakin menyadari bahwa supervisi merupaan strategi yang penting memonitor, menilai, membimbing, dan membina pendidik dan tenaga kependidikan sehingga melalui kegiatan supervisi sekolah memiliki peta mutu kinerja.

Rendahnya kendali terhadap pelaksanaan tugas manajemen sekolah, pada banyak kasus kepala sekolah kurang efektif melakukan supervisi. Terpenuhinya dokumen pelaksanaan tugas supervisi cenderung hanya untuk memenuhi dokumen formal, namun implikasi praktis pada dampak penigkatan mutu melalui sistem pelaksanaan standar supervisi belum terwujud.

Dalam kondisi seperti ini model multi proses yang dikembangkan Thomas Sergiovanni dan Robert Starratt (1998) melalui multi strategi dalam bentuk siklus pemantauan kinerja belum dapat Indonesia terapkan. Kelemahan ini seiring dengan melemahnya upaya pelaksanaan supervisi pembelajaran di masa otonomi daerah.

Penyelenggaraan program rintisan sekolah bertaraf internasional yang mensyaratkan penerapan penjaminan ISO (International Organization for Standardization) telah menggeser paradigma pengelolaan supervisi. Pelaksana supervisi internal yang pada awalnya penjadi tanggung jawab kepala sekolah dan harus dilaksankan oleh kepala sekolah berubah menjadi kepala sekolah tetap berfungsi sebagai penanggung jawab, namun pelaksana supervisi ada pada tim khusus yang dibentuk untuk membantu kepala sekolah melakukan penjaminan mutu.

Sistem itu diharapkan akan mengubah kegiatan supervisi dari formal-seremonial ke dalam aktivitas penjaminan mutu yang sesungguhnya. Apalagi jika pemerintah daerah telah menerapkan sistem untuk mendorong pelaksanaan supervisi sebagai penjamin mutu dapat dilaksanakan sesuai dengan fungsinya. Dengan langkah ini tentu akan meningkatkan akuntabilitas pemerintahan terutama dalam menjamin bahwa tiap warga negara memeperoleh pendidikan yang bermutu.

Akibatnya pemerintah daerah pada umumnya tidak memiliki data kineraja sekolah sebagai dasar pengembangan kebijakannya. Data ini juga sebagai dampak dari rendahnya kinerja sekolah dalam menghimpun data profil kenerja pendidik.

Penerapan standar yang mensyaratkan lengkapnya data profil kinerja melalui supervisi belum dapat sekolah penuhi sehingga Indonesia belum memiliki dasar yang kuat dalam mengembangkan kebijakan yang standar, yaitu berbasis data. Jadi, manajemen pendidikan kita terpaksa mengembangkan kebijakan penerapan standar dengan dukungan kebijakan yang tidak berstandar.

C.    Solusi Alternatif

Dengan memperhatikan kondisi yang memprihatinkan di satu sisi karena belum supervisi sebagai upaya penjaminan mutu belum dapat dilaksanakan secara optimal oleh kepala sekolah maupun dinas kabupaten-kota yang dalam pelaksanaanya dilakukan oleh para pengawas, maka sistem peningkatan mutu melalui kegiatan supervisi perlu dicarikan melalui solusi lain.
Solusi pertama dengan memanfaatkan kecendrungan sekolah untuk menerapkan standar ISO dalam sistem pengelolaan, maka pembentukan tim audit mutu dapat dimanfaatkan untuk lebih efektif dalam melakukan sistem penjaminan mutu melalui kegiatan supervisi teman sejawat.

Untuk lebih mengembangkan sistem supervisi multi proses sebagaimana yang telah berkembang di negara-negara maju yang diintegrasikan dengan multi proses, maka peran LPMP perlu ditingkatkan sebagai lembaga penjamin mutu melalui peningkatan perannya dalam melaksanakan supervisi yang melibatkan para pengawas di kabupaten kota. Produk LPMP ketika informasi hasil supervisi terhimpun dapat dikembangkan menjadi peta perkembangan pendidikan pada tiap daerah sekaligus sebagai strategi untuk menilai kinerja pendidikan dan kinerja pemerintah daerah oleh pemerintah khususnya dalam sistem peningkatan mutu pelaksanaan standar pendidikan.

BAB III
Kesimpulan

Supervisi merupakan salah satu strategi manajemen untuk menjamin bahwa seluruh proses dan hasil peningkatan mutu dapat mencapai target yang ditetapkan. Melalui kegiatan supervisi kinerja dapat diukur. Melalui kegiatan supervisi pemetaan mutu dapat dideskripsikan.

Konsep supervisi sebagai strategi penjaminan mutu belum dapat diwujudkan secara optimal. Kepala sekolah sebagai penjamin mutu internal sekolah belum dapat melaksanakan tugas supervisi dengan optimal pula, demikian juga pengawas pembina. Oleh karena itu mengembangkan sistem supervisi melalui optimalisasi diri melalui kontrol yang dikembangkan oleh LPMP seharusnya menjadi salah satu alternatif yang perlu segera dikuatkan.


0 komentar:

Posting Komentar