BAB I
A. Pendahuluan
Semua negara dalam meningkatkan mutu sumber daya manusia berusaha keras agar
dapat menerapkan standar dalam menyelenggarakan pendidikannya. Tiap negara
berlomba menetapkan kriteria minimal pada berbagai komponen strategis agar
memenuhi standar mutu minimal sebagai modal dasar untuk mengembangkan
persaingan. Keberhasilannya diukur dengan indikator-indikator yang paling
strategis sehingga menggambarkan hasil nyata sebagai komponen utama penentu
daya saing. Upaya meningkatkan mutu itu tidaklah mudah, demikian pakar mutu
menyatakan kesungguhannya. Meningkatkan mutu perlu rumusan pikiran tentang apa
yang hendak ditingkatkan, memilih bagian yang paling dibutuhkan pelanggan, dan
menghasilkan produk kegiatan yang paling unggul di antara produk sejenis.
Oleh karena itu, peningkatan mutu
memerlukan ide baru yang datang dari pikiran cerdas, selalu mengandung bagian
yang berbeda dari yang ada sebelumnya, menghasilkan bagian yang lebih sempurna,
lebih bermanfaat, lebih mempermudah sehingga lebih diminati. Mutu memerlukan
waktu, proses dan ketelatenan untuk mewujudkan ide-ide baru dengan baik sejak
awal.
Tiap langkah dalam mewujudkan
mutu memerlukan disiplin untuk selalu memenuhi seluruh persyaratan pekerjaan
agar hasil yang diharapkan terwujud. Dalam sebuah lembaga mutu yang baik lahir
dari disiplin bersama, tanggung jawab bersama, dan komitmen bersama.
Apakah Supervisi?
Supervisi yang merupakan salah
satu strategi untuk memastikan bahwa seluruh langkah pada proses
penyelenggaraan dan semua komponen hasil yang dicapai memenuhi target.
Supervisi adalah strategi
manajemen yang terdiri atas serangkaian kegiatan untuk memastikan bahwa mutu
yang diharapkan dalam proses perencanaan, pelaksanaan kegiatan, dan evaluasi
memenuhi standar yang telah ditentukan.
Praktek supervisi selalu berubah
seiring dengan tumbuhnya kesadaran para pemangku kepentingan untuk meningkatkan
penjaminan mutu. Kesadaran akan pentingnya meningkatkan mutu terkait pada
peran, fungsi, dan pembagian tugas dalam organisasi. Pelaksanaannya selalu
terkait pada konsistensi lembaga, kegiatan akademik, profesionalisme, dan
kesungguhan penyelenggara pendidikan akan pentingnya memastikan bahwa mutu yang
diharapkan dapat terus terjaga sejak langkah perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauannya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana perkembangan supervisi pendidikan ?
2.
Bagaimana kendala serta solusinya ?
C.
Tujuan Supervisi
Supervisi pendidikan bertujuan
menghimpun informasi atau kondisi nyata pelaksanaan tugas pendidik dan tenaga
kependidikan sesuai dengan tugas pokoknya sebagai dasar untuk melakukan
pembinaan dan tindak lanjut perbaikan kinerja belajar siswa. Tujuan lanjut
adalah bermanfaatnya hasil akreditasi untuk melakukan perbaikan mutu.
Target puncak supervisi adalah
berkembangnya proses perbaikan mutu secara berkelanjutan. Meningkatnya
kebiasaan melaksanakan tugas sejak awal dengan mutu yang terukur, membiasakan
tiap tahap pekerjaan jelas pula mutunya. Meningkatnya kejelasan pengaruh
pelaksanaan tugas profesi terhadap hasil belajar siswa. Pada akhirnya supervisi
menumbuhkan budaya mutu karena mutu itu adalah budaya yang selalu menjujung
terget yang tinggi pada tiap langkah kegiatan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Perkembangan Supervisi
Supervisi pada awalnya merupakan
bagian dari aktivitas manajemen pemerikasaan atau inspeksi oleh pihak
eksternal. Kepala sekolah harus menunjukkan bukti kinerja pelaksanaan tugasnya.
Pendidik harus menunjukkan bagaimana membelajarkan siswa, menerapkan kurikulum,
dan menyerap pelajaran. Pada decade ini tema memeriksa tertanam kuat dalam
praktek supervisi.
Pada dekade awal abad kedua
puluh, seiring dengan gerakan dalam bidang industri yang menerapkan model
manajemen, supervisi semakin berrkembang dengan semakin berpusat pada siswa.
Hal ini dipengaruhi oleh berkembangnya teori-teori kurikulum yang berkembang di
Eropa seperti Friedrich Froebel, Johan Pestalozzi, Johan Herbart, serta filsuf
Amerika terkemuka John Dewey. Pekembangan ini jelas sangat berpengaruh terhadap
perkembangan sekolah.
Perkembangan lebih jauh dengan
berkembangnya berbagai penelitian dalam bidang pendidikan, pengawasan sering
terjebak pada kegiatan mengevaluasi guru secara ilmiah yang simultan dengan
mengembangkan model pembelajaran yang mekanistis , mengulang, dan meningkatkan
partisipasi untuk lebih meningkatkan ragam tanggapan siswa yang tumbuh dari
rasa ingin tahu. Perkembangan ini telah menyebabkan meningkatnya standar
persyaratan sistem pembelajaran. Pendekatan supervisi yang ilmiah telah
memunculkan ketegangan psikologis guru yang cendrung lebih memperhatikan aspek
pragmatis.
Paradigma mekanistik dibangun
berdasarkan paradigma lingkungan yang berfokus pada empat komponen dasar, yaitu
hubungan antara sistem alam dan sosial, mengintegrasikan nilai kemanusian
dengan alam, menggunakan teknologi dalam mengembangkan alternatif, dan
mengembangkan kegiatan pembelajaran dalam siklus kehidupan manusia. (Disinger,
John F. – Roth, Charles E, 1992)
Sampai kini ketegangan antara
pengawas dengan pendidik akibat dari pengawasan yang menggunakan pendekatan
ilmiah tidak pernah pudar. Oleh karena itu berkembanglah pemikiran lanjut untuk
mengembangkan supervisi dengan pendekatan yang lebih fleksibel, dialogis,
kolaboratif, melibatkan hati secara alamiah, dan lebih komunikatif. Supervisi
menjadi bagian dari usaha meningkatkan mutu penerapan kewenangan profesional.
Perkembangan selanjutnya adalah
berkembangnya konsep supervisi klinis. Awalnya konsep itu dikembangkan oleh
profesor Harvard Morris Cogan dan Robert Anderson serta mahasiswa pascasarjana
mereka. Supervisi dan supervisi klinis mengintegrasikan unsur objektif dan
ilmiah melalui pengamatan kelas yang bersifat kolegial, menekankan pada aspek
pembinaan, serta didasari dengan perencanaan rasional, pelaksanaan yang
fleksibel dengan pendekatan utama membantu memecahkan masalah yang terdapat
pada pembelajaran siswa.
Tahun 1969 Robert Goldhammer
mengusulkan pelaksanaan supervisi klinis dalam lima tahap, yaitu: (1) Pertemuan
pra-observasi antara pendidik dan pengawas untuk menyepakati komponen-komponen
kegiatan yang akan menjadi materi analisis; (2) observasi kelas; (3) catatan
analisis supervisor untuk bahan kajian dari hasil observasi; (4) pertemuan
pendidik dengan supervisor pasca observasi; dan (5) pertemuan para pengawas
untuk membahas hasil pertemuan akhir dengan para pendidik.
Di samping itu, Cogan menegaskan
bahwa pelaksanaan supervisi hendaknya berlangsung dalam hubungan kolegial,
terfokus pada kepentingan guru dalam meningkatkan standar pembelajaran siswa,
dan dengan sistem pengamatan yang tidak menghakimi.
Pada era tahun 1970-1980-an,
sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, kurikulum berubah pandang dengan
lebih menekankan pada struktur disiplin akademik. Tak lama setelah itu,
perspektif baru yang berhasil dirumuskan dari produk penelitian dalam konteks
pengembangan sekolah efektif dan kelas efektif, dan belajar efektif. Pada
periode ini ini tercatat nama Madeline Hunter yang berhasil mengadaptasi hasil
penelitiannya pada bidang psikologi belajar dengan memperkenalkan, quasi-ilmiah
atau dikenal juga dengna istilah analisis konsteks. Quasi-eksperimen
selanjutnya menjadi sangat populer dan berkembang menjadi metode penelitian
dalam ilmu sosial.
Para akademisi selanjutnya
mengikuti siklus sebagaimana Cogan dan Goldhamer rumuskan yaitu proses
supervisi dilakukan secara dialogis dan replektif. Pendekatan supervisi ini
kemudian banyak diterapkan. Lebih jauh pendekatan ini telah menjadi pemicu
muncul model supervisi teman sejawat dengan difasilitasi hubungan kolegial
antar guru dengan melakukan penelitian tindakan kelas (PTK).
Meskipun supervisi klinis menjadi
salah satu cara yang sangat efektif dalam membantu memecahkan masalah yang guru
dalam memperbaiki pekerjaannya, namun mengingat jumlah guru yang semakin banyak
maka pelaksanaannya memerlukan waktu, tenaga, dan biaya yang besar sehingga hal
ini menjadi mustahil diperlakukan kepada semua guru.
Sejalan dengan berkembangnya
kebutuhan untuk meningkatkan mutu pendidikan melalui peningkatan mutu siswa
belajar dan peningkatan mutu guru.,Thomas Sergiovanni dan Robert Starratt
(1998) mengembangkan sistem supervisi multi proses. Konsep ini menekankan akan
pentingnya mengingkatkan mutu pengawas supaya dapat mendorong pertumbuhan mutu
guru. Pelaksanaan supervisi dilakukan multi tahun serta multi proses. Sistem
supervisi memperlakukan pendidik dan tenaga pendidik menigkatkan mutu
profesinya dalam satu siklus yang terdiri atas bergai komponen kegiatan. Siklus
dapat dikembangkan dalam 3 sampai 5 tahun, tergantung pada kebutuhan. Pendidik
dan tenaga kependidikan mendapat perlakuan satu model atau banyak perlakuan
formal, seperti evaluasi diri, supervisi teman sejawat, pengembangan kurikulum,
penelitian tindakan kelas, lesson study (peningkatan mutu profesi melalui
perbaikan mutu pelaksanaan tugas secara ilmiah), penelitian tindakan penerapan
strategi pembelajaran baru, pemagangan, dan menggabung dalam proyek pembaharuan
sekolah.
Sergiovanni and Starratt juga
menegaskan pentingnya setiap tindakan itu memberikan dampak pada meningkatnya
kemampuan profesi pada indikator yang terukur. Juga dari sisi ruang lingkup
kegiatan terluas adalah membuka peluang pendidik dan tenaga kependidikan untuk
berpartisipasi secara sengaja pada agenda pembaruan seluruh sekolah. Hal itu
dimaksudkan agar dapat merangsang pertumbuhan kompetensi profesional supervisi
dalam konteks sistem sekolah yang lebih besar.
Belakangan para ahli juga
menemukan model perbaikan pelaksanaan tugas yang berbasis kepakaran guru dalam
kegiatan lesson study yang sudah lama berkembang dan efektif digunakan Jepang
dalam memperbaiki tugas profesinya dalam kelas. Yang menarik dari strategi ini,
fokus kajian tidak berkonsentrasi pada masalah yang guru hadapi dalam kelas,
namun lebih fokus pada indentifikasi keunggulan guru dalam mempengaruhi siswa
belajar dalam kelas. Peningkatan diarahkan pada menambah kekuatan itu sehingga
menjadi lebih berarti.
B.
Kecenderungan dan Masalah Supervisi
Kecenderungan dapat dilihat dari
perkembangan kegiatan supervisi di Indonesia selalu berkembang sejalan dengan
berkembangnya konsep pada perkembangan global. Berbagai teori yang berkembang
pada tataran internasional terus menjadi bahan kajian akademik di berbagai
forum pengembangan mutu pendidikan di Indonesia. Masalahnya adalah dampak pada
peningkatan mutu pembelajaran belum terukur hasilnya.
Supervisi belum menghasilkan data
yang sebenarnya diperlukan untuk meningkatkan kinerja. Hingga kini sekolah
belum dapat mengukur dan memilah berapa banyak pendidik yang bekerja di atas
standar, pada taraf memenuhi standar. Jumlah guruyang under performance
seringkali tidak diperoleh datanya dari supervisi, melainkan pada umumnya dari
tingkat kehadiran dan keluhan siswa. Jadi, sampai saat ini pelaksanaan
supervisi belum berfungsi sebagai instrumen peningkatan mutu yang optimal.
Pada era tahun 1960-an, kepala
sekolah dan guru disupervisi dengan pendekatan isnspeksi. Pemeriksaan oleh
pengawas menegangkan kepala sekolah dan pengawas. Kunjungan kelas pengawas
merupakan kegiatan formal yang menakutkan. Pengawas, pada saat itu: penilik,
masuk kelas memeriksa bagaimana guru mengajar, memeriksa sampai mana kurikulum
diterapkan, dan menguji kompetensi siswa secara lisan. Hasil pemeriksaan
merupakan nilai kinerja sekolah yang sangat bermakna terhadap masa depan karir
mereka sehingga kepala sekolah maupun pendidik berkepentingan dengan hasil
penilaian yang baik.
Kepala sekolah melakukan inspeksi
terhadap guru sebagai wujud dari sistem supervise internal berlangsung setiap
hari. Pendidik menyusun persiapan harian yang diperiksa dan ditandatangani oleh
kepala sekolah. Tiap hari sebelum masuk kelas guru memeriksankan pesiapan
mengajarnya dalam bentuk jurnal kegiatan harian sebelum masuk kelas.
Pada era tahun 1970-an-1980-an
seiring dengan perkembangan konsep baru seperti yang dikembangkan Harvard
Morris Cogan dan Robert Anderson, Robert Goldhammer yang menegaskan pentingnya
supervise yang flesibel, kolegial, fokus pada standar mutu belajar siswa,
sampai pada munculnya konsep pelaksanaan supervisi klinis pelaksanaan supervisi
di Indonesia menganut model-model baru. Pada dekade ini inspeksi telah berubah
menjadi supervisi yang lebih dialogis, kolaboratif, dan menekankan pada
peningkatan kompetensi guru dalam melaksanakan pembelajaran dalam kelas.
Tugas utama supervisi berada di
tangan kepala sekolah. Tugas ini dikuatkan dengan bertambahnya jumlah pengawas
sekolah yang diangkat oleh pemerintah untuk membantu sekolah. Namun sayang
sekali penugasan pengawas ke sekolah tidak pernah di dukung dengan biaya yang
memadai sehingga sebagian beban itu dari waktu ke waktu menjadi tanggungan
sekolah. Akibatnya wibawa pengawas di sekolah terganggu dengan dampak
psikologis kontribusi finansial sekolah kepada pengawas. Akibatnya, fungsi
supervisi tidak berfungsi optimal.
Pada era tahun1990-an model
supervisi klinis mulai terasa pengaruhnya di Indonesia. Kepala sekolah mulai
mendapat pelatihan untuk melakukan kegiatan supervisi model ini. Bahkan karena
besarnya hambatan psikologi guru untuk membuka masalah yang dihadapinya,
menimbulkan kehawatiran muculnya padangan negatif di lingkungan kerja sebagai
guru yang tidak berkemampuan, sebenarnya supervisi klinis tidak pernah
berkembang baik pada banyak sekolah di Indonesia.
Terbitnya Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 telah mengubah kedudukan sekolah negeri
yang disejajarkan dengan sekolah swasta. Oleh karena itu sekolah negeri juga
harus diakreditasi sama dengan sekolah swasta. Kinerja sekolah yang dinilai
dalam akreditasi adalah efektivitas kepala sekolah dalam melakukan akreditasi
pendidik. Pada perkembangan terakhir kepala sekolah semakin menyadari bahwa supervisi
merupaan strategi yang penting memonitor, menilai, membimbing, dan membina
pendidik dan tenaga kependidikan sehingga melalui kegiatan supervisi sekolah
memiliki peta mutu kinerja.
Rendahnya kendali terhadap
pelaksanaan tugas manajemen sekolah, pada banyak kasus kepala sekolah kurang
efektif melakukan supervisi. Terpenuhinya dokumen pelaksanaan tugas supervisi
cenderung hanya untuk memenuhi dokumen formal, namun implikasi praktis pada
dampak penigkatan mutu melalui sistem pelaksanaan standar supervisi belum
terwujud.
Dalam kondisi seperti ini model
multi proses yang dikembangkan Thomas Sergiovanni dan Robert Starratt (1998)
melalui multi strategi dalam bentuk siklus pemantauan kinerja belum dapat
Indonesia terapkan. Kelemahan ini seiring dengan melemahnya upaya pelaksanaan
supervisi pembelajaran di masa otonomi daerah.
Penyelenggaraan program rintisan
sekolah bertaraf internasional yang mensyaratkan penerapan penjaminan ISO
(International Organization for Standardization) telah menggeser paradigma
pengelolaan supervisi. Pelaksana supervisi internal yang pada awalnya penjadi
tanggung jawab kepala sekolah dan harus dilaksankan oleh kepala sekolah berubah
menjadi kepala sekolah tetap berfungsi sebagai penanggung jawab, namun
pelaksana supervisi ada pada tim khusus yang dibentuk untuk membantu kepala
sekolah melakukan penjaminan mutu.
Sistem itu diharapkan akan
mengubah kegiatan supervisi dari formal-seremonial ke dalam aktivitas
penjaminan mutu yang sesungguhnya. Apalagi jika pemerintah daerah telah
menerapkan sistem untuk mendorong pelaksanaan supervisi sebagai penjamin mutu
dapat dilaksanakan sesuai dengan fungsinya. Dengan langkah ini tentu akan
meningkatkan akuntabilitas pemerintahan terutama dalam menjamin bahwa tiap
warga negara memeperoleh pendidikan yang bermutu.
Akibatnya pemerintah daerah pada
umumnya tidak memiliki data kineraja sekolah sebagai dasar pengembangan
kebijakannya. Data ini juga sebagai dampak dari rendahnya kinerja sekolah dalam
menghimpun data profil kenerja pendidik.
Penerapan standar yang
mensyaratkan lengkapnya data profil kinerja melalui supervisi belum dapat
sekolah penuhi sehingga Indonesia belum memiliki dasar yang kuat dalam
mengembangkan kebijakan yang standar, yaitu berbasis data. Jadi, manajemen
pendidikan kita terpaksa mengembangkan kebijakan penerapan standar dengan
dukungan kebijakan yang tidak berstandar.
C.
Solusi Alternatif
Dengan memperhatikan kondisi yang
memprihatinkan di satu sisi karena belum supervisi sebagai upaya penjaminan
mutu belum dapat dilaksanakan secara optimal oleh kepala sekolah maupun dinas
kabupaten-kota yang dalam pelaksanaanya dilakukan oleh para pengawas, maka
sistem peningkatan mutu melalui kegiatan supervisi perlu dicarikan melalui
solusi lain.
Solusi pertama dengan memanfaatkan kecendrungan sekolah untuk menerapkan
standar ISO dalam sistem pengelolaan, maka pembentukan tim audit mutu dapat
dimanfaatkan untuk lebih efektif dalam melakukan sistem penjaminan mutu melalui
kegiatan supervisi teman sejawat.
Untuk lebih mengembangkan sistem
supervisi multi proses sebagaimana yang telah berkembang di negara-negara maju
yang diintegrasikan dengan multi proses, maka peran LPMP perlu ditingkatkan
sebagai lembaga penjamin mutu melalui peningkatan perannya dalam melaksanakan
supervisi yang melibatkan para pengawas di kabupaten kota. Produk LPMP ketika
informasi hasil supervisi terhimpun dapat dikembangkan menjadi peta
perkembangan pendidikan pada tiap daerah sekaligus sebagai strategi untuk
menilai kinerja pendidikan dan kinerja pemerintah daerah oleh pemerintah khususnya
dalam sistem peningkatan mutu pelaksanaan standar pendidikan.
BAB III
Kesimpulan
Supervisi merupakan salah satu
strategi manajemen untuk menjamin bahwa seluruh proses dan hasil peningkatan
mutu dapat mencapai target yang ditetapkan. Melalui kegiatan supervisi kinerja
dapat diukur. Melalui kegiatan supervisi pemetaan mutu dapat dideskripsikan.
Konsep supervisi sebagai strategi
penjaminan mutu belum dapat diwujudkan secara optimal. Kepala sekolah sebagai
penjamin mutu internal sekolah belum dapat melaksanakan tugas supervisi dengan
optimal pula, demikian juga pengawas pembina. Oleh karena itu mengembangkan
sistem supervisi melalui optimalisasi diri melalui kontrol yang dikembangkan
oleh LPMP seharusnya menjadi salah satu alternatif yang perlu segera dikuatkan.
0 komentar:
Posting Komentar